Takbir Hakikat Makna
Takbir, Hakikat Makna Dan Pergeseran Fungsinya
Ekspresi syukur menutup Ramadhan beberapa hari lalu diungkapkan dalam kalimat takbir.

Oleh : H. John Supriyanto
Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an (STIQ) Al-Lathifiyyah Palembang
Ekspresi syukur menutup Ramadhan beberapa hari lalu diungkapkan dalam kalimat takbir.
Mengapa syukur?
Sebab, hanya dengan pertolongan dan hidayah Tuhan saja seorang yang beriman mampu merampungkan secara sempurna amaliyah Ramadhan-nya (Qs. al-Baqarah : 185).
Mengendalikan dan melawan dorongan nafsu -- biasanya lebih dominan pada hal-hal negatif, tanpa kekuatan iman dan intervensi hidayah Tuhan, rasanya suatu yang mustahil.
Puncaknya, ibadah sebulan penuh itu telah mengantarkan seseorang pada fithrah, titik nol kesucian. \
Dalam bahasa hadits kondisi ini disebut “kayaumin waladathu ummuhu”, seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya.
Representasi rasa syukur, kegembiraan, kebahagiaan dan kemenangan tersebut kemudian diekspresikan dalam kalimat takbir.
Bahwa semua terjadi dan dapat dilalui semata-mata karena kemurahan, keagungan dan kebesaran-Nya.
Sedangkan manusia adalah makhluk yang kecil, lemah dan rapuh yang setiap saat sangat bergantung pada kemurahan-Nya.
Dalam syari’at agama, takbir adalah salah-satu kalimat thayyibah yang biasa diungkapkan di banyak tempat dan berbagai kondisi.
Selain sebagai ekspresi kemenangan di hari raya ‘Id al-Fithri dan ‘Id al-Adha, takbir juga dilafazkan dalam kalimat azan, iqamah, ibadah haji, ketika menyembelih hewan ternak dan binatang buruan, serta zikir setelah shalat lima waktu dan lain-lain.
Bahkan, kalimat takbir merupakan bagian penting dari shalat itu sendiri, yakni menandai setiap gerakannya dimulai dari takbirat al-ihram.