Fakta Saat Mahasiswa Bersatu Lengserkan Rezim Presiden Soeharto, Terungkap Pasca 20 Tahun Berlalu

Salah satu kelompok masyarakat yang ikut andil dalam turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya adalah mahasiswa.

Editor: Refly Permana
SRIPO/SUDARWAN
TNI membantu aparat kepolisian berusaha menghadang ribuan massa di pangkal Jembatan Ampera Seberang Ilir. Massa bergerak dari kawasan Seberang Ulu menuju kawasan Seberang Ilir Palembang pada pertengahan Mei 1998. Karena kalah jumlah, barikade pasukan ini akhirnya jebol. 

SRIPOKU.COM - Salah satu kelompok masyarakat yang ikut andil dalam turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya adalah mahasiswa.

Bukan cerita yang ditutupi lagi, bagaimana problematiknya kondisi ketika para mahasiswa bersusah payah menyampaikan aspirasi mereka lewat demonstrasi hingga akhirnya berujung pada kematian sejumlah mahasiswa.

Berkat upaya dari mereka pula, terbentuklah era baru bernama reformasi yang bertahan hingga saat ini.

Naik Rp 1.000, Harga Emas Antam Selasa 26 Mei 2020 Berada di Angka Rp 917.000 per Gram

Mahasiswa dari universitas negeri ternama, hingga kampus-kampus swasta lainnya tak gentar bergerak melengserkan Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun.

Namun perjuangan mahasiwa mengumpulkan massa untuk turun ke jalan saat itu rupanya bukan perkara mudah.

Bangkai 2 unit sepeda motor tergeletak di tengah jalan di simpang Jakabaring Palembang pada kerusuhan Mei 1998 silam.
Bangkai 2 unit sepeda motor tergeletak di tengah jalan di simpang Jakabaring Palembang pada kerusuhan Mei 1998 silam. (SRIPO/SUDARWAN)

Mantan Ketua Senat Mahasiwa (SM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) sekaligus mantan Aktivis 1998 Pande K Trimayuni menceritakan bagaimana sulitnya mengumpulkan massa untuk bergerak melawan rezim.

22 tahun yang lalu, mahasiswa UI yang peduli dan siap bergerak hanya berasal dari organisasi non-formal.

"Zaman dulu ada kebijakan mahasiwa enggak boleh berpolitik praktis. Jadi apa yang bisa dilakukan mahasiwa saat itu melalui menghimpun diri dalam kelompok studi itu," kata Pande dalam diskusi online, Jumat (22/5/2020).

Pande mencoba memahami mengapa organisasi mahasiswa formal saat itu tidak berani banyak bergerak.

Mungkin, karena kondisi Indonesia tengah kacau dan banyaknya aparat yang bersifat represif membuat sebagian mahasiwa takut untuk turun ke jalan.

Tiga Pelaku Pembunuhan Sadis di Prabumulih Dibekuk, Ketiganya Saudara Kandung, Sembunyi di Pondok

Selain mahasiswa, dukungan dari dosen dan universitas juga sulit didapatkan.

Pande beserta rekan-rekannya pun pernah mencoba menghadap Dekan FISIP UI untuk meminta dukungan, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan.

"Mereka bilang bahwa ini apa, ini kalian ini anak muda new level apa yang kalian mau kan. Itu jauh sebelum 98 jadi gerakan yang besar," ujar dia.

Sejumlah mobil dan pertokoan di kawasan Jalan Veteran Palembang dibakar dan dijarah massa perusuh pada pertengahan Mei 1998 silam.
Sejumlah mobil dan pertokoan di kawasan Jalan Veteran Palembang dibakar dan dijarah massa perusuh pada pertengahan Mei 1998 silam. (SRIPO/SUDARWAN)

Pande melihat, muncul pesimisme dari organisasi non-formal maupun dari pihak kampus. Namun, ketika gerakan 1998 semakin membesar, konsolidasi mahasiswa UI pun semakin menguat dan dilakukan pada tingkat senat antar Fakultas.

Hingga akhirnya dibentuk perhimpunan Keluarga Besar Universitas Indonesia (KB-UI). KB-UI, kata dia, awalnya hanya didukung oleh FISIP, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sastra, dan Fakultas Teknik.

Organisasi itu pun awalnya tidak bisa menarik perhatian mahasiwa untuk bergabung. Bahkan, lanjut Pande, kala itu tak sedikit pula mahasiswa yang mengecam keberadaan KB-UI. Tetapi ia beserta rekannya tak tinggal diam.

Pande mencari acara agar KB-UI bisa berhasil menarik perhatian mahasiwa. Salah satunya dengan menggelar berbagai macam diskusi dan acara kebudayaan.

Cerita Pedagang, Sosok Pedagang Meninggal Diduga Covid-19 di Kebon Semai Dikenal Perempuan Kuat

"Organisasi non-formal enggak takut di DO (drop out) itu semangat yang saya hargai," ujar dia.

Pada akhirnya, KB UI berhasil mengumpulkan massa dan mulai melakukan demonstrasi awal di lingkungan kampus pada Februari 1998.

Sebagai tindakan permulaan sebelum ikut aksi demonstrasi di jalan menurunkan rezim Soeharto bersama mahasiwa dari berbagai universitas.

Namun, lanjut Pande, kondisi mahasiswa saat ini sudah berbeda dari masa sebelum reformasi.

Menurut dia, mahasiswa sekarang lebih suka mencari index prestasi belajar yang tinggi dibandingkan memperjuangkan kepentingan rakyat seperti mahasiwa terdahulu.

Padahal setiap masa pemerintahan memiliki permasalahannya masing-masing.

"Jangan dikira hanya dulu saja mahasiswa menghadapi persoalan ke masyarakatan. Sekarang juga pesoalan kemasyarakatan juga banyak sekali," tutur dia.

Pande mengatakan, banyak sekali isu krusial yang bisa terus diperjuangkan mahasiwa saat ini. Mulai dari memperjuangkan pekerja yang kehilangan pekerjaan, ekonomi yang belum merata, hingga hak-hak kaum buruh.

"Tapi bagaimana kita juga demokrasi ekonomi bahwa kesejahteraan rakyat memang benar-benar diperjuangkan," imbuh dia.

Oleh karena itu, Pande menilai sudah seharusnya mahasiswa saat ini didorong melihat sisi lain bahwa mahasiwa tidak hanya bertugas untuk belajar.

Tetapi juga memperjuangkan hak-hak masyarakat. Memperjuangkan hak rakyat, tambahnya juga bisa berdampak baik bagi kehidupan profesional. "

Percayalah bahwa itu enggak akan pernah sia-sia. Bahkan untuk kehidupan profesional kita sendiri," ungkap Pande.

"Saya refleksikan pada diri saya. Apa yang saya lakukan pada saat mahasiwa itu itu benar-benar membantu bagaimana cara berpikir saya, cara bersikap saya pada saat ini," ucap dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Sulitnya Mengumpulkan Mahasiswa untuk Melengserkan Soeharto..."

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved