Cerita Guru Menjabat Kepala Sekolah Rela Digaji Kecil Hingga Jadi Panglima Besar Berpangkat Jenderal
Cerita Guru yang Rela Digaji Kecil Meski Menjabat Kepala Sekolah dan Kemudian Seorang Panglima Besar Berpangkat Jenderal
Cerita Guru yang Rela Digaji Kecil Meski Menjabat Kepala Sekolah dan Kemudian Seorang Panglima Besar Berpangkat Jenderal, dialah Panglima Besar Jenderal Sudirman, berikut kisahnya.
SRIPOKU.COM-Bertepatan dengan Hari Guru Nasional yang jatuh pada Senin (25/11), kisah pengabdian pahlawan tanpa tanda jasa ini memang menjadi inspirasi.
Namun tahukah anda jauh sebelumnya, ada sosok guru yang menjadi panutan dan sosoknya tercatat dalam sejarah, bahkan Cerita Guru yang Rela Digaji Kecil Meski Menjabat Kepala Sekolah ini menarik untuk disimak.
Meski dalam perjalanannya, sang Guru Kecil demikian sapaannya dan julukannya, Kemudian menjadi Seorang Panglima Besar Berpangkat Jenderal.
Siapakah sosok inspirastif ini, dialah Panglima Besar Jenderal Soedirman, sosok yang melegenda dan dikenal sebagai orang yang sangat mencinta organisasi, di mana dia bernaung sebagai aktivis Muhammadiyah.
Berikut Kisah Pengalima Besar Jenderal Sudirman, cerita Guru Menjabat Kepala Sekolah Rela Digaji Kecil Hingga Jadi Panglima Besar Berpangkat Jenderal
Dikenal Sebagai Guru Kecil
Siapapun tahu, jika sebelum menjadi seorang Panglima Besar, Jendral Soedirman aktif berorganiasi bahkan menjadi seorang guru.
Guru kecil merupakan julukan Jenderal Soedirman, bahkan dia sempat menjabat kepala sekolah meski digaji sangat kecil.
Cerita Jenderal Soedirman memulai karir politiknya dengan menempak diri di Organisasi Muhammadiyah.
Kiprahnya dimulai ketika dia dipercaya menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Cabang Banyumas, kemudian Jawa Tengah.
Sebagai seorang pemuda yang cerdas, Jenderal Soedirman kala itu memang sosok yang mencintai organisasi. Kemampuannya memimpin dan ngemong para anggotanya, membuat dia menjadi panutan.
Sentuhan di dunia keguruan dimulai Jenderal Soedirman ketika dia menempu pendidikan di MULO Wiworotomo.
Ia pun didaulat menjadi guru kecil, ketika di MULO Wiworotomo julukannya karena dia pantai membiming anak-anak Pandu Hizbul Wathan, rasa kesetiakawanan dan kepeduliannya sangat tinggi.
Bahkan ketika itu Gurunya memang mengandalkannya untuk membantu teman-temanya yang kesulitan dalam pelajaran.
Karena kemampuanya inilah, Jenderal Soerdirman kala itulah, membuat dia kemudian kerap mengajarkan menggantikan gurunya berhalangan, sehingga dijuluki guru kecil karena kecerdasannya.
Ketika Jenderal Soedirman kemudian mulai mengajar, ketika rekan-rekanya percaya dan kemudian Lembaga Pendidikan Muhammadiyah pun percaya kepadanya.
Mulai Mengajar
Selepas dari Mulo, Jenderal Soedirman kala itu, kemudian menjadi guru yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta. Sayang sekolah itu tutup karena kekurangan biaya.
Jenderal Soedirman muda, kemudian pindah dan mengejar di Cilacap di sekolah dasar Muhammadiyah.
Setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo.
Berstatus sebagai pengajar, Jenderal Soedirman mendapatkan gaji sebesar F3 (tiga gulden) perbulan (dikutif dari buku terbitan Dinas Sejarah TNI AD), berdasarkan saduran dari historia.id.
Mencinta Pekerjaan Sebagai Guru
Jika tak ada perang, bisa jenderal Soerdirman menjadi tokoh Muhammadiyah yang disegani. Hal itu terlihat ketika dia menjadi guru dan dipandang sebagai sosok yang cerdas dan cakap dalam berorganiasi.
Sebagai sosok yang populer dan dikenal dengan kemampuannya memimpin organisasi di Muhammadiayah Jenderal Soedirman sebearnya tidak susah mencari pekerjaan.
Tetapi dia tetap betah mengejar di HIS (Hollandsch Inlandsche School), setara sekolah dasar di masa belajar tujuh tahun.
“Bukankah yang besar itu adalah organisasi. Besarnya dan mekarnya organisasi bukan berarti harus besar dan mewahnya si pemimpin. Untuk mencukupi biaya hidupnya, dia aktif sebagai guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap,” demikian tertulis dalam biografi Sudirman Prajurit TNI Teladan, seperti dilansir dari historia.id.
Menjabat Kepala Sekolah
Kembali ketika Jenderal Soedirman didaulat menjadi kepala sekolah SD atau HIS Muhammadiyah, maka gajinya kemudian naik menjadi 25 f, namun gaji itupun terbilang kecil baginya.
Tetapi Jenderal Soedirman tak pernah mengeluh, bahkan dia tetap aktif, sembari berorganisasi.
Dia makin tekun mengajar dan menjadi seorang guru, profesi yang memang benar-benar dia cintai dengan sepenuh hati.
Terpaksa Berhenti Jadi Guru Karena Agresi Jepang
Namun Jenderal Soedirman berhenti menjadi guru, ketika Jepang Menduduki Indonesia.
Dia kemudian itunjuk Belanda kala itu yang meminta bantuan penduduk pribumi untuk melakukan perlawanan dan Jenderal Soedirman, menjadi Ketua Sektor PBD atau semacam Dinas Perlindungan Bahaya Udara yang dibentuk Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, Soedirman menjadi anggota Syu Sangikai (semacam dewan perwakilan), kemudian anggota Jawa Hokokai Karesidenan Banyumas. Setelah mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, dia ditempatkan sebagai daidancho (komandan batalion) Daidan III di Kroya, Banyumas.
Ketika itu, sudah pecah Perang Dunia II di Eropa, Jepang, yang telah bergerak mendekati Cina daratan, berupaya menginvasi Hindia.
Maka itulah pemerintah kolonial Belanda yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi pribumi, memutuskan untuk mengajari rakyat cara-cara menghadapi serangan udara.
Maka itulah ditunjuk seorang pemuda cakap seperti Soedirman, yang disegani oleh masyarakat, sehingga diminta untuk memimpin tim di Cilacap.
Selain mengajari warga setempat mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman juga mendirikan pos pemantau di seluruh daerah.
Ia dan Belanda juga menangani pesawat udara yang menjatuhkan material untuk mensimulasikan pengeboman. Hal ini bertujuan untuk mempertinggi tingkat respon
Otomatis sekolah pun ditutup Soedirman yang mulai bersentuhan dengan dunia ketentaraan memperlihat kecapakannya dalam memimpin.
Sejarah perlawanan Jenderal Soedirman pun sangat terkenal dalam peperangan, termasuk perang gerilya yang dilakukannya.
Sejarah PETA
Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap Jepang.
Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak.
Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun mundur
Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April.
Peristiwa ini meningkatkan dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia.
Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih, namun sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh.
Setelah Kemerdekaan dan Menjadi Panglima Besar
Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus,[46] kontrol Jepang sudah mulai melemah.
Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor.
Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Soedirman menjabat komandan Divisi V TKR Purwokerto.
Saat itulah, dia mengatur strategi melawan Sekutu di Ambarawa. Karier militernya mencapai puncak setelah dia terpilih menjadi panglima besar tentara Indonesia –inikah maksud "orang besar" yang diramalkan orang Tambi itu?
Dimana ada pengalaman unik ketika Soedirman masih menjadi guru.
Dia menceritakannya kepada Pak Kholil. Suatu hari, ketika sedang mengajar, dia didatangi seorang Tambi (orang Keling dari Bombay). Setelah becakap-cakap, orang beragama Hindu itu melihat telapak tangan Soedirman dan berkata:
“kelak engkau menjadi orang yang besar, tabahlah.” Soedirman menganggap ramalan itu biasa saja.
Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, Soedirman dalam keadaan sakit melawan dengan bergerilya dari 19 Desember 1948 sampai 10 Juli 1949.
Jenderal Soedirman, guru yang jadi panglima besar, meninggal dunia pada 29 Januari 1950.