Diana Cristiana Bongkar Bobroknya Pendidikan di Papua, Tulis Kritik Ini ke Mendikbud Nadiem Makarim!
Diana Cristiana Da Costa Ati, PNS di Ujung Timur Nusantara Viral, Tulis Kritik Ini ke Nadiem Makarim
Penulis: Rizka Pratiwi Utami | Editor: Welly Hadinata
Hari pertama tiba, kami langsung berkunjung ke sekolah. Jaraknya kurang lebih lima ratus meter dari sini rumah. Sio mama, air matasaya mengalir lagi saat melihat ruangan belajar.
Enam tingkatan kelas SD cuma ada tiga ruangan belajar. Aduh mama, ini nyata. Bagaimana pembelajaran berjalan setiap hari? Dua kelas harus digabung dalam satu ruang belajar: kelas satu dan dua, tiga dan empat, lima dan enam, anak-anak menjelaskan.
Tapi bagaimana guru bisa mengajar di tiga ruang begini? Saya membayangkan dua orang guru harus menangani enam kelas dalam tiga ruangan, kemudian muncul pertanyaan.
Apa yang diajarkan kepada anak didik? Bagaimana ketika kepala sekolah harus ke kabupaten untuk urusan kedinasan? Anak-anak bercerita bila ada urusan di kabupaten sekolah diliburkan dengan batas waktu yang tak tentu.
Bila sudah mencapai seminggu lamanya, anak-anak berangkat ke hutan.
Hari-hari selanjutnya, saya kerap berpikir tentang satu pertanyaan.
Apa yang akan saya lakukan selama dua, waktu yang terlalu singkat, untuk memajukan pendidikan di Mappi sebagai seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil? Sering, saya dan kedua teman guru GPDT, Antonius Tampani dan Inda Rovitha Meyok, menghabiskan waktu setelah makan malam dengan berdiskusi tentang hal ini. R
asanya seperti tidak menerima kenyataan.
Kami tidak pernah menyangka bahwa masih ada kehidupan seperti ini di zaman smart phone.
Salah siapakah ini? Saya mencoba bertanya pada kedua teman.
Yang satu hanya menggelengkan kepala. Satunya menarik napas panjang.
11 Januari 2019
Hal paling aneh di republik ini adalah ketika seorang PNS tidak menjalankan tugasnya bertahun tahun pun tidak dipecat.
Penggelapan Dana Bos besar-besaran dianggap Kita doyan memelihara generasi perusak masa depan bangsa.
Beratus-ratus miliyar uang negara untuk pendidikan dihabiskan hingga yang tersisa adalah ruang kelas layaknya gudang harus ditempati untuk menuntut ilmu.
Tidak ada seragam, buku, pensil, meja dan bangku layak pakai. Beginilah Indonesia.
Beginilah Papua.
Ini sudah menjadi budaya sebelum atau sesudah Mappi menjadi kabupaten baru, pemekaran dari kabupaten Merauke, kabar burungnya begitu.
Anak-anak harus duduk di lantai, membungkuk untuk belajar menulis.
Ada beberapa bangku namun sudah reyot.
Seorang anak mencoba duduk namun roboh seketika. Diam-diam mereka sepakat untuk duduk di lantai.
Saat hendak menulis di meja, mejanya bergoyang. Ibu guru kami takut meja patah, kata seorang murid.
Tidak lagi peduli pada meja dan bangku. Kami semua duduk melantai sambil belajar menulis abjad.
Sekolah ditutup berbulan-bulan bahkan hingga setahun.
Guru-guru ke kota dengan alasan mengurus data pokok peserta didik dan dana BOS, lalu dihabiskannya dana itu, ada yang membuka pinjaman dengan dana itu, menyimpan di bank untuk berbunga.
Setelah itu kembali ke kampung buka sekolah untuk Ujian Nasional.
Begitulah cerita yang sering saya dengar tentang pendidikan di Mappi.
Banyak sekolah dijuluki sekolah Ujian karena hanya aktif menjelang ujian semester dan ujian nasional.
Parahnya lagi sewaktu Ujian Nasional, orangtua murid kelas enam dipungut biaya sebesar lima ratus ribu dari kepala sekolah.
Entah untuk apa, itulah yang terjadi di Kampung Kaibusene sejak beberapa tahun terakhir.
Kami pernah didatangi seorang oarangtua murid.
Anaknya sekarang sudah kelas enam. Ibu guru tolong pada saat ujian jangan dibayar lagi nanti sa pu anak tra bisa ikut ujian lagi, ia memohon.
Saya kaget dan mengelus dada.
Saya bilang,Tuhanmace, siapa yang bilang ujian itu bayar, kita wajib belajar 9 tahun itu gratis mace, tra ada pungutan begitu.
Bah ibu guru baru selama ini kami bayar pas ujian mahal mahal itu
Ini namanya pendidikan mematikan masyarakat, pikirku.
Orang tua itu melanjutkan kerasahannya. Bayangkan saja kalau dalam rumah ada tiga sampai empat anak yang ikut Ujian Nasional. Sudah berapa biaya yang dikeluarkan.
Dengan susah payah ia mencari biaya tersebut agar anak-anaknya bisa mendapat ijazah Sekolah Dasar, sedang pejabat sekolah kenyang dengan uang pungutan.
Hanya ada satu kata untuk ini, kejam!
Mendatangkan Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) adalah solusi bupati Mappi terpilih, Rito Agawemu.
Saya mencoba menghubungkan benang merah persoalan pendidikan di Mappi dengan gebrakan dari pak Rito Agawemu.
GPDT hadir atas kerjasama Pemerintah Kabupaten Mappi dengan Gugus Tugas Papua UGM untuk membasmi pelan-pelan virus buta huruf di Mappi.
Apakah dua tahun mengajar di pedalaman membasmi buta huruf cukup? Tentu tidak.
Untukmu Bapak Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan yang baru, kami sangat menantikan program kerja skala Nasional darimu untuk mencerdaskan anak-anak di pedalaman Indonesia.
Indonesia bukan hanya Jawa, kami pun Indonesia.
Indonesia bukan hanya kota-kota besar yang sudah canggih dengan aplikasi-aplikasi pendidikan yang mudah didapat lewat android, kami di pedalaman yang masih belajar mengenal abjad juga Indonesia.
Pak Surya Paloh pernah berkata dalam sebuah acara bertemakan Pertaruhan Sang Ideolog, saya mau lihat Indonesia yang seutuhnya.
Saya mau lihat seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, suatu ketika dalama waktu yang tidak lama ada anak-anak Indonesia yang rambutnya keriting, kulitnya hitam jadi presiden di republik ini.
Saya setuju dengan Pak Surya Paloh.
Namun untuk saat ini saya hanya ingin melihat buta huruf mati terkapar saat suara lantang anak-anak pedalaman Indonesia membaca buku.
Seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, saya ingin melihat anak-anak sekolah di pedalaman Mappi bisa menulis ceritra mereka dari pena dan kertasnya tanpa merasa sulit menyusun kata pada kumpulan aksara yang terbentang dari A-Z.
Salam Hormat
Diana Cristiana Da Costa Ati, S.Pd
Guru Penggerak Daerah Terpencil Kab.Mappi