Kisah Mata Air Zamzam yang Hilang Ribuan Tahun Digali Keturunan Ismail Kakek Nabi Muhammad SAW
Kisah Mata Air Zamzam yang Hilang Ribuan Tahun Digali Keturunan Ismail Kakek Nabi Muhammad SAW
Penulis: Hendra Kusuma | Editor: Hendra Kusuma
Kisah Mata Air Zamzam yang Hilang Ribuan Tahun Digali oleh Keturunan Nabi Ismail Kakek Nabi Muhammad SAW
SRIPOKU.COM, PALEMBANG-Siapa sangka Kisah Mata Air Zamsam yang melegenda dan airnya mengalir hingga kini, sempat hilang dan tutup selama ribuan tahun.
Kisah Mata Air Zamzam yang Hilang Ribuan Tahun itu memang menjadi cerita tersendiri.
Karena mata air zamzam kembali bisa dinikmati warga di kawasan Makkah itu, ketika digali lagi oleh Keturunan Nabi Ismail Kakek Nabi Muhammad SAW.
Kisah Mata Air Zamzam yang Hilang Ribuan Tahun itu memang tak lepas dari kisah Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail serta perjuangan Siti Hajar.
Digali oleh Keturunan Nabi Ismail Kakek Nabi Muhammad SAW, Hilang Ribuan tahun tetapi kemudian bisa bermaaf untuk orang banyak hingga kini.
Namun sebelum mengulas Kisah Mata Air Zamzam yang Hilang Ribuan Tahun itu, maka lebih dulu kita simak awal mula munculnya Mata Air zamzam yang kini menjadi sumur kebanggaan kota Makkah bahkan Arab Saudi tersebut.
Kisah Perjuangan Berat Siti Hajar Demi Menyusui Nabi Ismail yang Masih Bayi
Bermulai dari kisah Siti Sarah istiri Nabi Ibrahim as tak juga mempunyai anak. Namun Allah SWT kemudian mengaruniakan seorang anak dari Siti Hajar.
Seperti dikisahkan bahwa dahulu, Siti Hajar adalah budak Nabi Ibrahim AS dan Sarah.
Setelah Nabi Ibrahim AS menikahinya dan mempunyai anak dari Hajar, Sarah pun sempat merasa cemburu. Rasa cemburunya kian hari kian memuncak. Akhirnya, ia meminta Nabi Ibrahim AS membawa Siti Hajar pergi darinya.
Nabi Ibrahim AS kemudian membawa Siti Hajar dan Ismail yang masih bayi ke suatu tempat yang saat ini bernama Makkah, di samping Baitullah.
Dikisahkan bahwa, saat itu, tempat tersebut adalah padang pasir yang sangat tandus, kering, dan tidak ada seorang pun di tempat tersebut. Setelah menempatkan istri dan anaknya, Nabi Ibrahim AS hendak meninggalkan mereka berdua.
Atas perintah Allah SWT ia hendak kembali ke negeri Syam untuk menemui istrinya, Siti Sarah. Ketika Nabi Ibrahim AS hendak pergi, Siti Hajar menahannya dan berkata;
“Wahai Ibrahim, kemana engkau hendak pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami di sini tanpa bekal untuk mencukupi kebutuhan kami?”
Nabi Ibrahim AS tidak menjawab dan hendak beranjak. Siti Hajar kembali bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini?” Nabi Ibrahim AS menjawab, “Ya.” Siti Hajar kemudian berkata, “Kalau begitu Dia tidak akan membiarkan kami.”
Mendengar jawaban Siti Hajar, Nabi Ibrahim AS pun beranjak dari tempat itu. Setelah melewati sebuah gundukan hingga tak terlihat oleh Siti Hajar dan anak mereka, ia pun berbalik. Ia memandang ke arah Baitullah sembari berdoa.
Kisah disebutkan dan sebagaimana dikutif dari Al Quran Surat QS Ibrahim 37 sebagai berikut:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhanku kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim: 37)
Kebingungan Siti Hajar
Siti Hajar dengan sabar berdiam di padang pasir yang tandus tempat Ibrahim meninggalkan mereka. Ia kehabisan air dan makanan. Ismail yang ketika itu masih menyusu tak henti menangis karena air susu ibunya telah kering. Hal ini membuat Siti Hajar kebingungan.
Siti Hajar berlari kesana-kemari tanpa tujuan. Ia berlari ke bukit Shafa, lalu kembali ke bukit Marwah. Ia mulai gelisah dan mencari makanan di padang tandus yang kelak bernama Mekah itu.
Siti Hajar berlari ke bukit Marwa mencari kemungkinan makanan dan minuman, lalu kembali lagi ke bukit Shafa, lalu kembali lagi ke Bukit Marwa. Tak terasa, Siti Hajar sudah bolak-balik sebanyak 7 kali.
Apa yang dilakukan Siti Hajar ini kelak dinamakan Sa'i, yang dijadikan rukun haji. Sa'i adalah berlari-lari kecil diantara bukit Shafa dan Marwa selama 7 kali.
Hal ini dilakukannya berkali-kali. Ia berharap dapat menemukan sumber air atau bertemu seseorang yang dapat memberikan air untuk mereka. Namun, usahanya sia-sia karena tidak menemukan air. Saat itu, Siti Hajar mulai lelah.
Namun di tengah ketidakberdayaannya itulah, ada suara gaib. Ia pun mendengarkan suara itu dengan seksama.
“Aku mendengarnya. Apakah kamu dapat memberikan pertolongan?” tanya Siti Hajar pada suara gaib tersebut.
Ternyata, suara tersebut berasal dari Malaikat Jibril yang dikirim oleh Allah SWT untuk membantu Siti Hajar dan Nabi Ismail AS.
Terbit Dari Hentakan Kaki Nabi Ismail
Ia mengatakan kepada Siti Hajar untuk menaruh Ismail ke tanah, di tempat yang kini dikenal dengan sumur Zamzam. Seperti umumnya bayi, Ismail duduk sambil mengerukkan kakinya ke tanah.
Tak diduga, mata air yang segar keluar dari tanah yang dikeruk oleh Ismail. Siti Hajar kemudian meminum air tersebut sepuasnya hingga ia dapat menyusui Ismail kembali.
Siti Hajar lalu berlari menghampiri Ismail kegirangan. Kemudian Siti Hajar berkata "Zamzam (berkumpullah)". Kelak mata air ini dinamanan Air Zamzam, yang menjadi sumber kehidupan di padang tandus ini, dan mata airnya tidak pernah kering sampai saat ini.
Setelah Siti Hajar memenuhi kebutuhannya terhadap air tersebut, mata air itu tidak berhenti mengalir. Air yang keluar bahkan makin lama makin melimpah. Malaikat Jibril kemudian berkata, "Zamzam (Berkumpullah!)." Dengan izin Allah SWT, mata air itu mengumpul terus mengalir hingga sekarang.
Sempat Ditutup dan Tidak Terawat
Siapa yang menyangka, Mata air Zamzam yang meleganda itu, sempat tertutup setelah ribuan tahun tak terawat sepeninggal Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Hal inilah yang kemudian menjadi cerita tersendiri awal mula sumur yang menghidupi orang banyak itu hilang.
Seperti dikutip dari Imam Bukhori bahwa, ia meriwayatkan di dalam Kitab Shahih-nya seputar sumber air zamzam.
Makkah kala itu, berpenghuni ketika Nabi Ibrahim dan sang istri (Siti Hajar) serta sang bayi (Nabi Ismail) tiba di Makkah. Tanahnya berupa pegunungan yang tandus. Tak satu pun manusia tinggal di sana kecuali keluarga Nabi Ibrahim as, dalam kedeadaan sedemikian rupaAllah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk meninggalkan istri dan putra menuju Palestina.
Dengan berat hati beliau melangkahkan kaki meninggalkan mereka yang amat dicintainya. Beliau meninggalkan mereka di suatu tempat yang sangat sepi, sunyi, dan tak berpenghuni serta hanya berbekal air dan kurma yang tak memadai.
Ketika langkah kaki Sang Nabi semakin jauh dan tak terlihat lagi oleh istri dan putranyabeliau memalingkan wajah ke Baitullah seraya berdoa. Dengan mengangkat kedua tangan setinggi-tingginya dan air mata yang membasahi pipi, Nabi Ibrahim as berdo’a sebagaimana yang telah diabadikan dalam Firman Allah SWT QS Ibrahim (14): 37.
رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفِۡٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ ٣٧
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Itulah doa Nabi Ibrahim as untuk anak turunannya agar senantiasa menjalankan sholat sehingga berkah dan rezeki tetap mengalir bagi mereka yang selalu istiqomah menjalankan peintah-Nya.
Siti Hajar terus-menerus menyusui Nabi Ismail sampai tak terasa perbekalan air dan kurma hampir habis. Dan pada akhirnya, Siti Hajar sudah tidak bisa menyusui lagi. Ketika air susu Siti Hajar kering, Nabi Ismail mulai kehausan dan terus menangis dengan keras. Siti Hajar kebingungan tak tau apayang harus ia kerjakan.
Selanjutnya, Siti Hajar naik menuju Bukit Shafa sembari menoleh kekanan dan ke kiri seraya berharap menemukan orang yang dapat membantunya. Akan tetapi, tak ada satu pun manusia yang tampak di gurun yang tandus itu. Kemudian, ia menuju Bukit Marwah dengan harapan yang sama pula. Ia berkata, “Seandainya aku terus berlari-lari kecil, aku pasti akan kecapaian. Dan seandainya anakku meninggal, aku kelak tak akan bisa melihatnya kembali.”
Akhirnya, pada putaran ke tujuh tatkala turun dari Bukit Marwah, Siti Hajar mendengar suara aneh dari arah Baitullah. Beliau mendekatinya. Ternyata, suara itu merupakan malaikat yang sedang mengepakkan sayapnya sehingga keluar mata air yang sangat jernih. Melihat air memancar sangat deras, Siti Hajar pun mendekatinya dan membuat gundukan di sekitar air tersebut agar tidak mengalir ke mana-mana.
Kemudian mata air itu disebut dengan zamzam. Lari-lari kecil yang dilakukan Siti Hajar dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah menjadi ritual haji yang disyariatkan oleh Nabi sampai saat ini yang disebut dengan sa’i, yaitu lari-lari kecil dari Shafa ke Marwah sebanyak tujuh putaran.
Kisah Mata Air Zamzam Sepeninggal Nabi Ismail
Disebutkan dalam islami.co.id, salah satu kabilah dari Yaman yang dikenal dengan nama Jurhum datang dan tinggal di Makkah. Mereka senang tinggal di Makkah karena terdapat air zam-zam yang jernih dan segar yang sepanjang hidup mereka belum pernah menemukan air seperti ini. Sumur zam-zam telah menjadi sumber penghidupan bagi mereka.
Namun keadaan itu membuat mereka lupa, bahkan berlaku zalim terhadap orang yang mengunjunginya. Mereka berani memakan harta yang mereka hadiahkan untuk Baitullah dan merampas harta benda orang lain yang hidupdi sekitarnya. Padahal, pada waktu itu tidak diperkenankan melakukan segala bentuk kedzaliman di dalamnya.
Seiring dengan perilaku dan sikap Kabilah Jurhum yang semakin brutal, sedikit demi sedikit sumber air sumur zamzam semakin mengecil. Sampai sumber air zamzam tertutup sama sekali. Ini merupakan suatu balasan atas kebrutalan mereka.
Semua perilaku Jurhum menyebabkan petaka bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga suatu ketika terjadi peperangan antara Jurhum dan Bani Khuza’ah yang berakhir dengan terusirnya Kabilah Jurhum dari Baitullah. Seiring dengan berjalannya waktu, sumur zam-zam semakin tertutup dan tak terlihat.
Penggalian Zamzam oleh Abdul Muthalib
Zamzam mulai digali pada masa Abdul Mutholib, kakek Rasululullah SAW. Penggalian tersebut terjadi sebelum kelahiran Nabi (Tahun Gajah) dan berdasarkan mimpi beliau. Suatu ketika beliau tidur.
Tiba-tiba ada perintah yang mengatakan, “Galilah thibah!” Beliau pun bertanya, “Apa thibah itu?” Setelah berulang kali ada suarayang memerintahkan, “Galilah zamzam!” Dia bertanya lagi, “Apa itu zamzam?” Suara itu kembali terdengar, “Tidak akan berhenti selamanya dan tidak akan terputus untuk memberi penghidupan jamaah haji yang mulia.”
Ketika tempat yang ditentukan sudah jelas, beliau memulai mencoba untuk menggalinya. Tempat zamzam yang ditunjukkan ternyata sangat kering, seolah-olah tidak mungkin ada sumber air sebelumnya. Penggalian zamzam terus dilakukan walaupun banyak dari para penggali yang meninggal dunia.
Melihat keadaan kaumnya yang sangat kesulitan dalam usaha penggalian mata air zamzam, maka muncullah dalam hati Abdul Muthalib untuk bernadzar, “Seandainya penggalian sumur zamzam dapat sempurna dan mata air kembali keluar, jika aku dikaruniai sepuluh orang anak laki-laki, maka aku akan menyembelih salah satu di antara mereka.”
Ternyata, Allah SWT mengabulkan nadzarnya. Dari enam wanita yang dinikahi oleh Abdul Muthalib terlahirlah sepuluh anak laki-laki, yaitu Al-Haris, Abdullah, Abu Thalib, Az-Zubair, Al-Abbas, Dhoror, Abu Lahab, Al-Ghaidaq, Hamzah, dan Al-Muqawwam.
Kehadiran sepuluh putranya menjadikan inspirasi baru bagi Abdul Muthalib untuk memulai penggalian sumur zamzam yang sempat terhenti. Dengan izin Allah SWT, penggalian sumur zamzam berhasil. Kemudian untuk memenuhi nadzarnya, Abdul Muthalib mengundi di antara sepuluh putranya. Setelah berkali-kali dilakukan, ternyata undian tetap jatuh pada Abdullah, putra kesayangannya. Abdul Muthalib mengundang Bani Makhzum dan para pemimpin kabilah Quraisy.
Ibnu Hisyam menjelaskan dalam bukunya “Sirah Nabi”, “Ketika Abdul Muthalib membawa Abdullah untuk disembelih, Al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Mahzum mengatakan:
“Demi Allah, jangan sekali-kali engkau menyembelihnya untuk selamanya sampai engkau dapat menghindarinya. Apabila kita bisa menggantinya dengan harta, maka lebih baik kita menggantinya.”
Orang Quraisy tetap tidak setuju dengan cara mengorbankan saah satu putra beliau. Mereka khawatir kelak hal ini akan menjadi kebiasaan orang Arab dan orang Makkah.
Setelah sekian lama berdebat, akhirnya Abdul Muthalib berdoa kepada Allah. Dan akhirnya diputuskan bahwa ia menyembelih seratus ekor unta sebagai ganti nadzarnya. Pelanggaran nadzar ini disebut dengan diyat (denda). Dan itulah denda pertama kali kemudian ditetapkan dalam syariat Islam sebagai dalam pelanggaran tertentu di Tanah Haram.