Ramadhan Sebentar Lagi, Inilah Hukum Bagi Orang yang Sengaja tak Bayar Puasa Selama Bertahun-tahun
Allah membolehkan, bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa, baik karena sakit yang ada harapan sembuh
Penulis: Nadia Elrani | Editor: Welly Hadinata
SRIPOKU.COM - Tak terasa, bulan Ramadhan tahun 2019 sebentar lagi tiba.
Bagi umat Islam yang beriman, di bulan suci ini wajib berpuasa selama sebulan penuh.
Tapi sudahkah anda membayar utang puasa Ramadhan tahun lalu?
Biasanya, seorang wanita yang mengalami menstruasi dan orang yang sakit boleh tidak berpuasa.
Tetapi ketika masa itu berakhir, mereka wajib menggantinya dengan berpuasa atau membayar fidyah.
Masih ingatkah anda dengan jumlah utang puasa yang anda miliki?
Dan bagaimana dengan utang puasa Ramadhan yang sudah bertahun-tahun lalu?

Berikut jawaban Dewan Pembina Konsultasi Syariah, Ustaz Ammi Nur Baits:
Allah membolehkan, bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa, baik karena sakit yang ada harapan sembuh atau safar atau sebab lainnya untuk tidak berpuasa dan diganti dengan qadha di luar Ramadhan.
Allah berfirman:
"Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184).
Kemudian, para ulama mewajibkan bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, sementara dia masih mampu melaksanakan puasa agar melunasinya sebelum datang Ramadhan berikutnya.
• Zul Zivilia Ditangkap Polisi Kasus Narkoba, Ramalan Mbah Mijan Sebelumnya Sebut Lagu Aishiteru
• Download Lagu MP3 Indonesia Raya 3 Stanza, Lengkap dengan Lirik dan Video Berbagai Versi Aransemen
Berdasarkan keterangan A’isyah radhiyallahu ‘anha:
"Dulu saya pernah memiliki utang puasa ramadhan. Namun saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan Sya’ban." (HR. Bukhari 1950 & Muslim 1146)
Dalam riwayat muslim terdapat tambahan:
"Karena beliau sibuk melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam."
Aisyah, istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu siap sedia untuk melayani suaminya, kapanpun suami datang.
Sehingga Aisyah tidak ingin hajat suaminya tertunda gara-gara beliau sedang qadha puasa Ramadhan. Hingga beliau akhirkan qadhanya sampai bulan Sya’ban dan itu kesempatan terakhir untuk qadha.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan:
"Disimpulkan dari semangatnya A’isyah untuk mengqadha puasa di bulan Sya’ban, menunjukkan bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan hingga masuk ramadhan berikutnya." (Fathul Bari, 4/191).
Bagaimana jika belum diqadha hingga datang ramadhan berikutnya?
Sebagian ulama memberikan rincian berikut:
Pertama: Menunda qadha karena udzur, misalnya kelupaan, sakit, hamil, atau udzur lainnya.
Dalam kondisi ini, dia hanya berkewajiban qadha tanpa harus membayar kaffarah. Karena dia menunda di luar kemampuannya.
• Kronologi Lengkap Guru SMPN 12 Lubuklinggau Tewas Ditikam Suami Hingga Motif Pembunuhan
• Sosok Google Doodle Hari Ini Olga Ladyzhenskaya, Ternyata Seorang Guru Matematika dari Rusia
Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang sakit selama dua tahun. Sehingga utang Ramadhan sebelumnya tidak bisa diqadha hingga masuk ramadhan berikutnya.
Jawaban yang beliau sampaikan:
"Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnya hingga datang Ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya."
Kedua: Sengaja menunda qadha hingga masuk Ramadhan berikutnya tanpa udzur atau karena meremehkan. Ada 3 hukum untuk kasus ini:
Hukum qadha tidak hilang. Artinya tetap wajib qadha, sekalipun sudah melewati ramadhan berikutnya. Ulama sepakat akan hal ini.
Kewajiban bertaubat. Karena orang yang secara sengaja menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, termasuk bentuk menunda kewajiban dan itu terlarang. Sehingga dia melakukan pelanggaran. Karena itu dia harus bertaubat.
Apakah dia harus membayar kaffarah atas keterlambatan ini?
Bagian ini yang diperselisihkan ulama.
Pendapat pertama:
Dia wajib membayar kaffarah ini adalah pendapat mayoritas ulama.
As-Syaukani menjelaskan:
"Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin”
Hadis ini dan hadis semisalnya, dijadikan dalil ulama yang berpendapat bahwa wajib membayar fidyah bagi orang yang belum mengqadha ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya.
Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat yang diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah.
• Dikabarkan Putus dari Hilda Vitria, Ibnu Jamil Beberkan Pelarian Billy Syahputra, Ternyata Main Ini
• Review Film Captain Marvel 2019, Ternyata Begini Endingnya
At-Thahawi menyebutkan riwayat dari Yahya bin Akhtsam, yang mengatakan:
"Aku jumpai pendapat ini dari 6 sahabat, dan aku tidak mengetahui adanya sahabat lain yang mengingkarinya"(Nailul Authar, 4/278)
Pendapat kedua:
Dia hanya wajib qadha dan tidak wajib kaffarah. Ini pendapat an-Nakhai, Abu Hanifah, dan para ulama hanafiyah.
Dalilnya adalah firman Allah:
"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-aqarah: 184)
Dalam ayat ini, Allah tidak menyebutkan fidyah sama sekali dan hanya menyebutkan qadha.
Imam al-Albani pernah ditanya tentang kewajiban kaffarah bagi orang yang menunda qadha hingga datang ramadhan berikutnya. Jawaban beliau:
"Ada yang berpendapat demikian, namun tidak ada hadis marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) di sana" (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 3/327).