Gempa dan Tsunami Palu, Kisah Syaiful Yang Membolak Balikkan 200 Mayat Mencari Ibunya, Akhirnya Ia

Dia tak kenal lelah membalikkan semua mayat yang membujur di sepanjang pantai. Siapa tahu di antaranya ada wajah teduh ibunya.

Editor: ewis herwis
Detak.Co
Anggota tim medis membantu pasien di luar rumah sakit setelah gempa bumi dan tsunami menghantam Palu. 

SRIPOKU.COM — "Naiklah kau, Ipul! Anak dan istriku sudah hilang. Jangan kau cari siapa-siapa lagi di bawah!" suara keras seorang lelaki mengingatkan M Syaiful (24), warga Jalan Abadi Kota Palu.

Itu adalah suara pamannya, Awaludin.

Namun, Syaiful tak menghiraukan permintaan itu, ia tetap pada pendiriannya untuk mencari Julaeha, ibu kandungnya.

"Paman, biarlah aku cari ibuku. Dia yang melahirkan dan membesarkanku walau aku akan mati sekalipun!" balasnya.

Syaiful bertutur, dalam kondisi temaram, tidak ada lampu yang menyala, Jumat (28/9/2018) malam itu, dia menyusuri Pantai Talise yang sudah porak-poranda.

Bangunan tinggal puing-puing, mayat bergelimpangan di mana-mana.

Ilustrasi bangunan yang porak poranda akibat gempa dan tsunami
Ilustrasi bangunan yang porak poranda akibat gempa dan tsunami (Nasional Tempo.co)

Dia tak kenal lelah membalikkan semua mayat yang membujur di sepanjang pantai.

Siapa tahu di antara mereka yang terbujur ini ia mengenali wajah teduh ibunya.

"Banyak sekali suara minta tolong dan mengerang kesakitan, saya tidak tahu yang mana yang bersuara karena kondisi saat itu remang-remang," tutur Syaiful, Kamis (4/10/2018).

Dia terus mencari ibunya di antara jasad yang berserakan bercampur sampah dan puing seusai tsunami besar menghantam Palu.

Kekuatan energi tsunami ini telah meluluhlantakkan bangunan yang ada di pinggir pantai.

Semuanya roboh didorong kekuatan air yang datang dalam bentuk gelombang yang sangat kuat.

Gedung dan permukiman warga di sepanjang pantai pun rusak berat, bahkan ada yang sudah seperti lapangan, tidak menyisakan apa pun.

Sore itu, Syaiful menyangka ibunya berangkat melihat keramaian Festival Pesona Palu Nomoni yang digelar Pemerintah Kota Palu di Pantai Talise.

Warga mengevakuasi kantong jenazah berisi jasad korban tsunami di Palu, Sulawesi Tengah , Sabtu (29/9).
Warga mengevakuasi kantong jenazah berisi jasad korban tsunami di Palu, Sulawesi Tengah , Sabtu (29/9). (AP Photo)

Kegiatan ini adalah perayaan untuk memeriahkan Hari Jadi Ke-40 Kota Palu.

Kegiatan ini dikemas menarik karena dijadikan agenda pariwisata.

Salah satu daya tariknya adalah pelaksanaan ritual tradisi masyarakat Kaili. Kekayaan budaya inilah yang dikenalkan kepada masyarakat.

Namun, kemeriahan ini tidak pernah terjadi, gempa dahsyat 7,4 M telah menghentikan semuanya.

Bahkan setelah itu datang gelombang tsunami yang besar, menghantam panggung utama dan sepanjang pesisir Palu dan Donggala.

"Ibu saya suka keramaian, waktu itu saya yakin beliau melihat acara di Talise," kata Syaiful.

EE
Kondisi Masjid Arqam Bab Al Rahman atau Masjid Terapung di Pantai Talise, Palu, Sulawesi Tengah, mengalami kerusakan akibat gempa dan Tsunami, Rabu (3/10/2018). (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Kerinduan yang besar dari mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako ini membawanya terus mencari-cari ibunya.

 "Dalam keremangan malam, saya memperkirakan ada 200 lebih mayat berserakan di pantai," ungkap Syaiful.

Korban yang selamat atau orang yang baru datang di pantai untuk mencari kerabatnya kemudian menolong korban yang selamat.

Syaiful dan warga lainnya pun langsung membantu orang yang terluka.

Mereka dibawa ke lokasi yang lebih aman. "Tidak lagi pilih-pilih menolong orang, semua sama," ujar Syaiful.

Namun, tidak sedikit orang yang ketakutan. Mereka yang ketakutan ini diarahkan menuju ke Pekuburan Islam.

Menurut dia, gelombang tsunami datang dua kali.

Gelombang yang pertama belum memberikan efek yang besar.

Pada saat datang gelombang kedua inilah yang membuat semua runtuh dan musnah.

Syaiful juga mendapat informasi kuatnya tsunami dari kemenakannya yang bekerja di Kafe Telaga Biru yang saat ini masih mendapat perawatan.

"Dia belum injak aspal jembatan komodo sudah terbawa arus sampai di pertigaan komodo. Ia kemudian terseret arus balik," kata Syaiful.

Suara minta tolong terdengar di mana-mana. Orang-orang saling bantu meskipun tidak saling kenal.

Anggota tim medis membantu pasien di luar rumah sakit setelah gempa bumi dan tsunami menghantam Palu.
Anggota tim medis membantu pasien di luar rumah sakit setelah gempa bumi dan tsunami menghantam Palu. (Detak.Co)

Semua yang berteriak minta tolong segera didatangi untuk ditolong.

"Tidak ada cahaya lampu, semua listrik padam. Kami masih beruntung ada cahaya bulan," tutur Syaiful.

Tak ada satu wajah pun yang dikenali Syaiful sebagai ibunya.

Hatinya mulai kecut karena di permukaan laut pun banyak mayat yang mengambang.

Apakah salah satunya itu adalah jasad ibunya?

Pertanyaan ini segera dibuang jauh-jauh, ia yakin ibunya masih selamat, tapi belum ditemukan.

Setelah agak larut ia menuju pekuburan Islam, tempat berkumpulnya orang yang selamat dari amukan gelombang tsunami.

Malam itu juga, Syaiful mendapati ibunya sedang duduk terkulai lemah, wajahnya masih menyiratkan ketakutan yang dalam.

Namun, saat mata mereka saling tatap dan mengenali, dipeluklah ibunya erat-erat.

Wanita itu adalah Julaeha, ibunya yang selamat dari hantaman gelombang tsunami. 

Di pekuburan ini juga ditemukan kakak dan adik Syaiful.

Awaludin, paman Syaiful yang mencari istri dan anaknya, pun mendapati keduanya selamat.

Istri bersama anaknya yang baru berumur 9 bulan ini ditemukan di pekuburan Islam juga dalam kondisi sehat.

Tangis bahagia pun mengalir dari mata mereka....

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul:

Tangis Bahagia Syaiful Bertemu Sang Ibu Setelah Berjibaku Membalik Jenazah yang Bergelimpangan

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved