Kisah Satu-satunya Wapres Indonesia yang Mengundurkan Diri, Memusuhi Soekarno & Rela Hidup Miskin

Mengungkap Sejarah Kelam, Pecahnya Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mundur dari Wapres & Hidup Miskin. Ternyata Ini awal mereka bermusuhan.

Penulis: Candra Okta Della | Editor: Candra Okta Della

SRIPOKU.COM - Mungkin banyak tak mengenal sosok berhati bersih dan punya pemikiran cemerlang satu ini. 

Dia orang sederhana, yang hidup matinya hanya memikirkan bangsa. 

Tapi miris, meski berstatus pejabat. Orang disegani, dia bahkan tak mampu menikmati hidupnya. 

Ia pun tak mampu mengganti sepatu lapuknya yang tipis dan sakit dipakai. 

Dia lah, Muhammad Hatta atau akrab disapa Bung Hatta. 

Sosok satu-satunya Wakil Presiden Indonesia yang memilih mundur dan menjadi warga biasa. 

Dilansir Sripoku.com dari Intisari, (Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 2009)

Pada 1995, Pemilihan Umum pertama akhirnya diselenggarakan di Indonesia sejak mengumandangkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Bagi Bung Hatta pemilihan umum adalah instrumen paling demokratis untuk melakukan refreshing pemerintahan.

la beranggapan, dengan selesainya pemilihan umum maka pada tempatnya pejabat-pejabat negara diganti.

Namun perkembangan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan lancar sesuai harapan.

Bung Hatta berbeda paham dengan Bung Karno.

Bung Karno semakin memperlihatkan perilaku yang melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan.

Berbagai masukan Bung Hatta, dari yang lunak sampai yang amat keras, diabaikan begitu saja.

Pada sisi lain, sikap-sikap partai politik juga mengecewakan.

Mereka saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat.

Wakil partai yang duduk di pemerintahan tidak menunjukkan sebagai staatsman (negarawan) tetapi lebih memperlihatkan sebagai partijman (orang partai).

Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mengambil sikap mementingkan politik dan aspirasi partai ketimbang memikirkan nasib bangsa dan negara.

Posisi wakil presiden nyaris sebagai simbol belaka karena kekuasaan presiden sedemikian besar.

Perbedaan pandangan dengan Bung Karno juga terjadi saat menyikapi revolusi.

Saat Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, Bung Hatta berpikir sebaliknya.

Sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsa, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan.

Perbedaan tidak bisa dipertemukan, akhirnya tanggal 1 Desember 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Ketika ditanya mau apa setelah mengundurkan diri, Bung Hatta menjawab ringan, "Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang biasa."

Sebuah jawaban jernih dari sosok yang tidak haus kekuasaan.

Gambar terkait

Setelah menjadi orang biasa, langkah Bung Hatta sering kali mendapat kesulitan.

Bukunya yang berjudul "Demokrasi Kita" yang terbit pada tahun 1960 bahkan dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung.

Yang sudah terlanjur beredar ditarik kembali oleh institusi tersebut.

Buku tersebut dianggap banyak mengkritik Bung Karno.

Bung Hatta melalui buku tersebut memberi ketegasan secara terang mengapa ia memilih mundur dari pemerintahan.

la ingin memberikan kesempatan kepada karibnya, Bung Karno, untuk membuktikan sendiri benar-salahnya konsepsi yang dirumuskannya.

"... Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan ...."

Pada tahun itu pula statusnya sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dicabut.

Bung Hatta dilarang mengajar, ruang gerak beliau dibatasi.

Apakah perlakuan yang diterima oleh Bung Hatta resmi perintah presiden ataukah hanya tindakan para pembantu presiden yang over acting, tidak ada yang tahu persis.

Sebagai contoh, pada suatu ketika Bung Hatta melalui sekretaris pribadinya, Wangsa Widjaya, menyampaikan kepada Supeni (orang dekat Bung Karno dan staf di Deplu) bahwa beliau diundang menghadiri suatu konferensi internasional di Wina.

Tetapi Menteri Luar Negeri saat itu, Subandrio, memberitahu bahwa Presiden Sukarno tidak setuju kalau Bung Hatta menghadiri acara tersebut.

Supeni akhirnya menanyakan hal tersebut kepada Sukarno.

Hasil gambar untuk Bung Hatta

Presiden Sukarno menjawab, ia sama sekali tidak mendengar bahwa Bung Hatta diundang, apalagi melarangnya ke luar negeri.

Akhirnya tanpa halangan apa pun Bung Hatta hadir di acara tersebut.

Biang Perpecahan Itu

Sejak awal, munculnya sosok Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Proklamator RI diamini banyak pihak sebagai Dwitunggal yang akan selalu seiya sekata dalam menata kemerdekaan Indonesia yang masih seumur jagung. Apalagi keduanya dianggap punya kemampuan berbeda yang saling melengkapi.

Sukarno adalah sosok revolusioner yang mampu menggerakkan rakyat, sementara Hatta adalah seorang pemikir yang memiliki gagasan untuk kemajuan bangsa. Sukarno sangat suka menyampaikan gagasannya dengan berapi-api, sedangkan Hatta cenderung tak banyak bicara, tapi matang dalam konsep.

Namun, dalam perjalanannya, Dwitunggal tak bisa selalu segendang sepenarian dalam mengelola negara ini. Hubungan keduanya mulai renggang dan perbedaan pandangan politik makin tajam. Semuanya bermuara pada keputusan Hatta untuk mundur sebagai wakil presiden.

Banyak yang menilai, pengunduran diri Hatta merupakan kumpulan atau akumulasi dari beberapa konflik yang terjadi antara dia dengan Sukarno yang tidak bisa diakhiri. Kalau dilihat kembali jalan sejarah, keduanya memang tidak selalu sepaham sejak RI masih dalam angan-angan.

Kedekatan keduanya memang tak bisa disangkal, tapi Sukarno dan Hatta juga sering kali terlibat pertentangan pendapat. Bahkan, itu terjadi sejak mereka aktif dalam organisasi pergerakan pemuda menentang kolonialisme Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Hasil gambar untuk Bung Hatta

Tipikal keduanya memang berbeda. Sukarno adalah seorang solidarity maker, seorang pemimpin yang pandai menarik simpati massa dan menggerakkan mereka untuk tujuan tertentu. Sementara, Hatta adalah seorang administrator yang ahli dalam penyelenggaraan negara.

Kedua tokoh ini punya perbedaan pandangan dalam strategi dan orientasi politik. Di satu sisi, Sukarno ingin melanggengkan dominasinya meneruskan perjuangan revolusi. Pada sisi lainnya, Hatta telah berpikir maju untuk segera mengakhiri revolusi menuju pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Namun, untuk lebih spesifiknya, sejarawan sepakat bahwa yang menjadi penyebab mundurnya Hatta adalah pernyataan Sukarno. Sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Indonesia 8 Zaman Orde Lama, disebutkan mundurnya Hatta sebagai wapres disebabkan pernyataan Sukarno yang ingin mengubur partai politik.

Sebagai seorang demokrat, pendapat tersebut ditentang oleh Hatta. Ia masih percaya pada sistem demokrasi yang bercirikan banyak partai politik. Selain itu, Hatta juga menentang konsepsi Presiden serta ide tentang Demokrasi Terpimpin.

Meskipun hal itu disangkal Sukarno, fakta menunjukkan sebaliknya. Lihat saja ketika dalam pidatonya di hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956, Sukarno mencanangkan betapa pentingnya sebuah Demokrasi Terpimpin.

Sebulan kemudian, saat mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, 27 November 1956, Hatta antara lain mengatakan:

"Demokrasi Terpimpin tujuannya baik, tapi cara dan langkah yang hendak diambil untuk melaksanakannya kelihatannya malahan akan menjauhkan dari tujuan yang baik itu."

Sebenarnya, Hatta pernah berusaha untuk mendekatkan kembali hubungannya dengan Sukarno, atas desakan dan permintaan sejumlah tokoh agar Dwitunggal kembali bersama. Namun, upaya itu kandas. Dalam artikel "Demokrasi Kita" yang ditulisnya sekitar 1960, Hatta mengatakan:

"Bagi saya yang lama bertengkar dengan Sukarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil kira-kira dua tahun yang lalu".

Pada artikel yang sama, Hatta juga menulis tentang DPR dan kritikannya atas keberadaan legislatif setelah tak lagi dipilih melalui pemilu:

"Dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, di mana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi Terpimpin Sukarno menjadi suatu diktatur yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu."

Kritik keras soal Demokrasi Terpimpin ini berlanjut. Masih dalam artikel "Demokrasi Kita", Hatta makin keras bersuara. Dia menolak keinginan Sukarno untuk meruntuhkan Demokrasi Parlementer dan menggantinya dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Pada bagian lain dia menulis:

"Bahwa Sukarno seorang patriot yang cinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Cuma, berhubung tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya ia memandang garis besarnya saja. Hal-hal yang mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannya."

Konon, Sukarno sangat marah dengan tulisan itu. Majalah Pandji Masjarakat yang pertama kali menerbitkan artikel itu diberedel. Pemimpin redaksinya, Hamka, ditahan. Hatta pun jadi sulit menulis di media massa.

Dengan kritikan yang pedas itu, berakhirlah kedekakatan keduanya secara politik. Hebatnya, hubungan Sukarno dan Hatta sebagai dua orang yang bersahabat tak terganggu sama sekali.
2 dari 3 halaman

Sahabat Sampai Akhir

Tak bisa dibantah, Sukarno dan Hatta memiliki ketidaksamaan pemikiran dalam mengelola negara. Buktinya, mereka berpisah karena perbedaan pandangan politik, bukan karena masalah pribadi. Hal itu pula agaknya yang membuat hubungan pribadi antara keduanya tak terganggu, meski tensi politik sedang tinggi.

Diceritakan, pada 1963 sang mantan wapres terkena serangan stroke. Mendengar kabar itu, Sukarno datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Ia pula yang mendesak agar Hatta mau berobat ke Swedia dengan biaya dari negara.

Hatta bersedia ke Swedia. Sukarno dan Hatta bertemu di Istana sebelum keberangkatan untuk berobat. Sebelum berpisah, Soekarno berujar ke sekretaris pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja, "Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta."

Setelah pengobatan di Swedia, kondisi Hatta membaik. Setelah pulih, ia pun berkeliling ke sejumlah negara Eropa dan Amerika untuk berceramah. Tapi, di luar negeri Hatta menahan diri untuk tak mengkritik Sukarno secara frontal terkait perbedaan pandangan politik mereka.

Gambar terkait

Saat berada di Amerika Serikat, misalnya, ketika diminta bicara soal Sukarno, Hatta mengatakan, "Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Sukarno. Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun. Benar atau salah, ia Presiden saya."

Hubungan ini pula yang kemudian sulit dipahami oleh anak-anak Sukarno dan Hatta. Diceritakan oleh Guntur Sukarno Putra, putra sulung Sukarno, di tahun 1970, ada peristiwa menarik terkait hubungan Sukarno dan Hatta.

Dalam bukunya berjudul Bung Karno, Bapakku, Kawanku dan Guruku, Guntur menuturkan bahwa ketika itu dia ingin menikahi sang kekasih yang tinggal di Bandung, Jawa Barat. Hal itu kemudian dia sampaikan kepada sang ayah yang tengah sakit dan menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala).

Jawaban Sukarno sungguh membuat kaget Guntur. Karena tak bisa untuk menghadiri acara penting itu, Sukarno kemudian mengusulkan untuk meminta kesediaan Hatta menjadi wali nikah Guntur. Sang anak pun diyakinkan bahwa Hatta pasti akan bersedia.

Sejatinya, Hatta bukankah orang baru bagi Guntur. Sejak kecil, Hatta sudah pernah mengasuhnya. Ketika di Rengasdengklok, dua hari sebelum Proklamasi RI, Hatta dan Sukarno bergantian menggendong Guntur. Bahkan, dikabarkan Hatta sempat kena ompol Guntur.

Namun, tetap saja Guntur tak percaya dengan ucapan Sukarno, mengingat sejarah hubungan keduanya yang memburuk, sampai-sampai Hatta memutuskan untuk mundur dari posisi wakil presiden.

Namun, ucapan Sukarno terbukti. Saat Guntur menghubungi Hatta melalui telepon dan mengungkapkan maksudnya, tak terdengar keraguan. Hatta langsung mengiyakan.

Pertemuan terakhir keduanya terjadi pada 19 Juni 1970, dua hari sebelum Sukarno wafat. Ketika itu Hatta menjenguk sahabatnya yang tengah terbaring sakit itu. Namun, Sukarno tengah tidur lelap ketika Hatta memasuki kamar.

Awalnya Hatta sempat akan beranjak pulang. Tapi ketika ia hendak melangkah keluar, Sukarno terbangun dan akhirnya berbicara pada Hatta dengan suara yang tidak jelas dan air mata yang menetes.

"Hatta, kau ada di sini. Hoe gaat het met jou? (Apa kabar?)," tanya Sukarno.

Meutia, putri Hatta yang juga ada di ruangan itu menggambarkan reaksi ayahnya yang terus memijat tangan Sukarno sambil berkata, "Ya sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh," ujar Hatta.

Selanjutnya, pertemuan itu hening dan tidak ada kata-kata apa pun selama 30 menit. Sambil menggenggam tangan Hatta, Sukarno menangis.

Dua hari kemudian, 21 Juni 1970, Sukarno wafat.

Hasil gambar untuk Bung Hatta

Banyak yang menilai hanya pribadi-pribadi terpilihlah yang bisa bersikap seperti Sukarno dan Hatta. Tentu tak mudah bagi Sukarno menerima kritikan pedas Hatta berulang kali. Sebaliknya, menyakitkan bagi Hatta melihat Sukarno yang dinilainya sudah melenceng dari acuan politik yang mereka yakini sejak awal.

"Sukarno mengenal Hatta. Hatta bisa saja menyerang dan mencaci maki dirinya karena kebijakan dan tingkah laku politiknya, tetapi dalam kehidupan pribadi, ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan kemerdekaan di antara mereka sudah seperti saudara kandung," tulis Mavis Rose dalam Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta.

"Ruang pribadi mereka terjaga. Inilah uniknya, karena secara politik bermusuhan, tapi pribadi tidak," kata sejarawan, Taufik Abdullah tentang uniknya hubungan kedua Proklamator RI tersebut. 

(Sripoku.com/Candra)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved