Dua Versi Sejarah Lorong Basah, Mulai dari Tempat Berbau Prostitusi hingga Sektor Bisnis

Kini masyarakat Palembang mengenal Lorong Basah sebagai salah satu pusat destinasi wisata kuliner baru khas Kota Palembang.

Penulis: Rangga Erfizal | Editor: Ahmad Sadam Husen
SRIPOKU.COM/RANGGA ERFIZAL
Lorong Basah. 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Kini masyarakat Palembang mengenal Lorong Basah sebagai salah satu pusat destinasi wisata kuliner baru khas Kota Palembang.

Namun jauh sebelumnya, destinasi wisata tersebut memiliki sejarah panjang

Mulai dari jaman pendudukan Belanda hingga sekarang.

Berbagai versi sejarah mengenai lorong basah pun menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Palembang yang ingin mengetahui kisah dibalik lorong yang sempat menjadi pusat aktifitas masyarakat Palembang jaman dahulu tersebut.

===

Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP), Vebri Al Lintani, yang merupakan seniman sekaligus budayawan Palembang mengungkapkan, fakta sejarah mengenai Lorong Basah tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Palembang yang dinamis.

Menurutnya, ada dua versi kenapa dinamakan Lorong Basah.

Pertama, waktu jaman dahulu masyarakat Palembang yang terdiri dari berbagai etnis hidup berdampingan.

Masyarakat pun banyak hidup bergantung dengan air dari Sungai Musi untuk keperluan sehari-hari.

Pada masa itu masyarakat Thionghoa yang hidup di Kota Palembang banyak bekerja sebagai buruh pengangkut air.

Rute yang dilalui oleh para pengangkut  air pun melalui Lorong Basah menuju pemukiman warga Palembang yang terletak di daerah Masjid Lama.

“Jadi air yang diambil dari tepian sungai diangkut menuju kampung penduduk di sekitar jJalan Masjid Lama dan Jalan Beringin Janggut.”

“Nah dari angkutan air tersebut kebanyakan airnya jatuh ke jalan sehingga menimbulkan jalanan yang basah.”

“Dari situlah orang-orang menamakannya Lorong Basah," ujarnya.

===

Untuk versi kedua lorong basah memiliki makna sedikit negatif.

Pasalnya Lorong Basah dianggap pernah menjadi tempat prostitusi di masa kolonial sekitar tahun 1938 hingga 1942.

“Untuk menghilangkan kesan negatif tersebut akhirnya Lorong Basah diubah namanya menjadi Sentot Ali Basya yang merupakan nama Pahlawan Nasional,” ungkapnya.

Masih menurutnya, terlepas dari dua versi mengenai Lorong Basah, lokasi ini selalu punya cerita yang dapat diingat.

Sekitar tahun 70an lorong basah sempat menjadi tempat menjual sepatu dan seragam sekolah hingga tahun 80an.

Saat itu pun pedagang yang berjualan belum terlalu ramai.

“Masuk tahun 80an keatas, Lorong Basah jadi padat dengan dagangan yang beragam, utamanya pakaian hingga jaman Walikota Edi Santana Putra.”

“Dimasanya aktifitas Lorong Basah berkurang karena banyak dilakukan penertiban bagi pedagang.”

“Para pedagang direlokasi ke Pasar 16 dan Jakabaring.”

“Namun pada saat ini aktifitas dikala siang kembali dipadati dengan pedagang kaki lima,” ujarnya.

===

Vebry berharap dengan adanya Night Culinery dikala malam di lokasi ini dapat memperindah dan meningkatkan pariwisata di Kota Palembang.

“Keamanan harus ditingkatkan lagi sebab hingga saat ini Lorong Basah masih terkenal rawan dalam hal keamanan.”

“Kedua harus lebih banyak kegiatan kesenian yang promotif.”

“Selain memperkenalkan makanan khas Palembang, bisa juga dengan memperkenalkan kebudayaannya," ungkap Vebri. (Sripoku.com/Rangga Erfizal)

===

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved