Begini Asal Mula Reputasi Micin Jadi Jelek Hingga Dikatakan Jadi Penyebab 'Kids Zaman Now'
Apapun perbincangannya, pasti yang dibawa-bawa micin. Memangnya micin seberacun apa sampai-sampai sering disebut sebagai penyebab
Penulis: Tresia Silviana | Editor: Sudarwan
Laporan wartawan Sriwijaya Post, Tresia Silviana
SRIPOKU.COM - Belakangan, istilah generasi micin banyak dipakai untuk menggambarkan perilaku orang-orang zaman sekarang yang tidak bisa dimengerti, terutama di media sosial.

Apapun perbincangannya, pasti yang dibawa-bawa micin.
Memangnya micin seberacun apa sampai-sampai sering disebut sebagai penyebab kebodohan.
Namun, benarkah micin seburuk itu sampai bisa disalahkan untuk segala perilaku tersebut?
Apakah memang benar-benar ada penelitian soal micin yang mengatakan kalau dia terbukti bisa menyebabkan otak jadi tumpul?
Citra buruk micin ini ternyata tidak main-main.
Buktinya sampai banyak restoran yang melabeli makanan mereka 'No MSG'.
Label ini seolah-olah sama pentingnya dengan label Halal atau No Pork, yang kalau sengaja dikonsumsi orang muslim bisa menimbulkan dosa karena melanggar apa yang diharamkan.
Akhirnya secara tak sadar digunakan sebagai patokan orang dalam memilih tempat makan.
Sebelum judge macam-macam, simak dulu beberapa fakta kenapa awalnya micin bisa dianggap berbahaya layaknya racun ini.
Diciptakan oleh Prof Kikunae Ikeda

Disebut-sebut sebagai sumber dari kebodohan manusia, micin yang bahasa ilmiahnya disebut monosodium glutamat (MSG), justru diciptakan seorang profesor asal Tokyo Imperial University Jepang, Kikunae Ikeda, pada tahun 1908.
Awalnya ia terinspirasi dari masakan istrinya sendiri yang begitu lezat.
Setelah ditanya ternyata ia kerap menggunakan rumput laut kering yang disebut kombu.
Melarutkan kombu ke dalam air panas akan menjadikannya kaldu dashi yang memiliki rasa umami atau gurih.
Rasa ini disebut-sebut sebagai rasa ke-5 setelah manis, asam, pahit, asin.
Ikeda kemudian menambahkan bahan lain seperti natrium untuk mengubah larutan itu menjadi bubuk penyedap masakan.
Dari situ ia kemudian mematenkan penemuannya dan membuat Ajinomoto untuk pertama kalinya.
Ternyata kandungan dalam MSG yaitu glutamat, sebenarnya secara alami dapat ditemukan juga di tomat, keju, permesan, jamur kering, kecap, buah dan sayur, bahkan ASI.
Pada 1968, MSG tiba-tiba mendapat cap buruk

Ternyata ketakutan masyarakat akan micin nggak secara langsung terjadi begitu saja.
Pada 1968 ada seorang profesor bernama Dr Ho Man Kwok yang mengklaim bahwa dirinya merasakan sakit di leher belakang hingga ke lengan dan punggung, dengan disertai lemas dan berdebar-debar setiap kali makan di restoran Cina.
Konon katanya, Kwok menyalahkan MSG sebagai penyebab sindrom yang kemudian dinamakan Chinese Restaurant Syndrom (CRS) ini.
Kwok kemudian menulis surat ke New England Journal of Medicine tentang keresahannya ini.
Kwok juga memperkuatnya dengan memaparkan beberapa penelitian tentang efek dari MSG.
Salah satunya riset oleh Dr John W Olney dari Universitas Washington yang melibatkan tikus.
Olney menyuntikkan MSG sebesar 4 gram/kg berat tubuh tikus.
Hasilnya tikus tumbuh lebih kerdil, gemuk, dan beberapa ada yang mandul.
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya muncul persepsi umum kalau micin bisa membuat bodoh.

Komplain dari Dr Kwok itu konon membuat banyak peneliti jadi berlomba-lomba bereksperimen sama micin ini.
Simpang siur informasi soal dampak buruk micin ini tersebar layaknya virus.
Bahkan hingga kini masih banyak masyarakat yang lebih memilih buat nggak menambahkan micin pada pesanan baksonya atau banyak makanan lain.
Bahkan soal efek micin ini sudah jadi bahan bercandaan di banyak kelompok pertemanan.
Lebih buruk, micin tak berdosa ini sampai dianggap sebagai penyebab kebodohan umat manusia.
Pada 1995, badan pengawas obat dan makanan di AS membuat eksperimen tentang efek MSG.
Pada 1995 akhirnya ada juga kejelasan soal efek micin ini.
Dikutip dari Kompas.com, Food and Drug Administration (FDA) di AS meminta Federasi Masyarakat Amerika untuk Biologi Eksperimental, melihat dampak sebenarnya dari micin.
Hasilnya beberapa kelompok individu memang menunjukkan respon buruk terhadap MSG dalam dosis besar, yang dirasakan satu jam setelah mengonsumsinya.
Tapi kadarnya memang 3 gram tanpa makanan.
Padahal kebanyakan orang mengonsumsi MSG rata-rata cuma 0,55 gram/hari dan dicampur makanan juga.
Beberapa riset juga menunjukkan hasil serupa.
Atas dasar penelitian-penelitian tersebut, FDA akhirnya menetapkan MSG sebagai GRAS (Generally Recognised As Safe) alias bumbu penyedap yang aman dikonsumsi.