Timur Tengah
Perang Diplomatik Arab-Qatar Agenda Amerika Israel di Timur Tengah
Joseph A. Massad (2007) dalam bukunya Desiring Arabs menyebut, kawasan Timur Tengah
Latar belakang Konflik Arab-Qatar
Pada bulan April 2016, mantan perdana menteri sekaligus mantan menteri luar negeri Qatar, Syeikh Hamad bin Jassim al-Thani memuji-muji Iran dalam pidatonya.
Dia juga menyarankan agar "negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC)" sebaiknya menjalin kerjasama dengan Iran dan menyudahi kebijakan pasif mereka selama ini dalam berbagai krisis di Timteng, termasuk di Suriah.
Ketegangan Qatar-Arab semakin meningkat ketika muncul pemberitaan bahwa Emir Qatar Syeikh Tamim bin Hamad Al Thani melakukan percakapan di telepon dengan Presiden Iran terpilih Hassan Rouhani. Selain mengucapkan selamat, Emir Qatar juga menyebut bahwa Qatar ingin meningkatkan hubungan diplomatik dengan Iran, tidak ada halangan apapun untuk memperdalam hubungan Qatar dengan Iran.
Emir Qatar juga menyebut bahwa Iran merupakan "kekuatan Islam" dan sungguh tidak bijak jika tidak membangun hubungan dengan Iran.
Meskipun Qatar menolak berita tersebut dan menyebutnya hoax, tapi Arab Saudi dan negara negara teluk tidak yakin bahwa berita tersebut hoax. Dalam pertemuan mingguan yang dipimpin langsung oleh raja Salman, Kerajaan Arab Saudi menegaskan bahwa mereka mengambil keputusan tegas, yaitu pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar, karena menurutnya otoritas Qatar telah melakukan pelanggaran berat.
Pelanggaran tersebut dilakukan secara terang-terangan dan terselung disepanjang tahun yang bertujuan untuk menyerang Arab Saudi. Arab Saudi juga menyebut bahwa Qatar telah menghasut sejumlah pihak untuk tidak mematuhi peraturan dan melanggar kedaulatan Arab Saudi. Qatar juga diduga memiliki tempat tempat berlindung yang nyaman bagi kelompok teroris dan sektarian yang berusaha merongrong keamanan kawasan.
Qatar sebagai salah satu negara terkaya di dunia, sepanjang tahun 2012 sampai sekarang dilaporkan konsisten membantu organsasi pembebasan Palestina "Harakah al-Muqawah al-Islamiyah" (HAMAS) melalui bantuan financial sebesar 1,5 milyar Us Dollar atau setara dengan 20 Trilyun Rupiah.
Selain itu Qatar juga menjadi tempat yang nyaman bagi pemimpin Hamas, yaitu Khaled Meshal yang sampai sekarang menjadi incaran intelijen Israel.
Meskipun Hamas memenangkan pemilihan parlemen Palestina pada 2006 tetapi Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) tetap memasukkanya ke dalam daftar kelompok teroris.
Untuk itu, bila ingin melihat mengapa Arab Saudi melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar, maka salah satu unsurnya bisa dilihat dari pernyataan kontroversi Syeikh Tamim dan hubungannya dengan entitas yang dibenci Arab Saudi, yaitu Iran selain juga tudingan Arab Saudi terhadap Qatar yang menyebut bawah Qatar merupakan tempat berlindung yang nyaman bagi teroris. Tapi, di balik itu juga kita harus memahami, apa yang diinginkan Amerika dari Qatar?
Kepentingan Amerika Israel di Timur Tengah
Dalam konteks politik luar negeri di Timur Tengah, utamanya pasca Trump terpilih menjadi Presiden AS, pemerintahan AS akan dihadapkan pada empat isu utama.
Pertama, perang sipil berkepanjangan di Suriah yang melibatkan pemerintah "legitimate" Bashar al-Assad yang didukung oleh Rusia dan Iran di satu pihak dan kelompok-kelompok perlawanan yang beragam, baik yang paling ekstrim seperti ISIS atau sekedar masyarakat sipil yang terjebak dalam perang, di lain pihak.
Meski yang menjadi isu utama dalam politik luar negerinya adalah perang terhadap ISIS dan kelompok-kelompok radikal Islam namun yang menjadi lokusnya adalah negara-negara yang terlibat perang sipil tersebut, utamanya Suriah dan dalam skala tertentu termasuk Iraq dan Afghanistan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palembang/foto/bank/originals/kiki_20170614_101058.jpg)