Eksklusif Sriwijaya Post
Tuan Tanah Patok Harga Sewa Baru Lahan Tower BTS Ponsel, Tak Sepakat Sinyal Bisa Hilang
Namun sejumlah tower BTS yang tersebar di Palembang, dan Sumsel secara umum, sepertinya terancam kehilangan fungsinya.
SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Dalam dunia telepon seluler (Ponsel) keberadaan tower BTS (Base Transceiver Station) sangat penting.
Tower tersebut bertindak sebagai pengantar sinyal ke ponsel.
Makin jauh jarak pengguna handphone dari BTS maka kualitas suara pun menjadi buruk, dan baterai ponsel menjadi boros.
Namun sejumlah tower BTS yang tersebar di Palembang, dan Sumsel secara umum, sepertinya terancam kehilangan fungsinya.
Penyebabnya, pemilik tanah atau tuan tanah yang lahannya disewa oleh perusahaan telekomunikasi (provider) untuk tempat berdirinya tower, menaikan harga sewa seiring berakhir masa kontrak atau sewa lahan. Jika harga sewa tak disepakati, tower-tower tersebut tidak akan aktif lagi.
Indikasi kemungkinan adanya sejumlah tower BTS tak berfungsi lagi terkait konflik dengan pemilik tanah, dirasakan betul sejumlah pengguna Ponsel yang mengaku sinyal sudah tidak kuat lagi dan percakapan melalui telepon seluler terputus-putus.
Terkadang, panggilan tersambung di layar ponsel, tapi orang yang dihubungi mengaku tidak pernah terima atau masuk nomor Ponsel yang dimaksud.
Kondisi seperti tersebut dirasakan di kawasan Kecamatan Alang-Alang Lebar dan Sukarami, kawasan Ilir Barat (IB) I dan II.
Belum lagi, persoalan tower ilegal yang dihentikan paksa oleh Sat Pol-PP karena tidak memiliki izin.
Disisi lain, dari berbagai survei, ternyata jumlah pengguna gadget di Sumsel melebihi dari jumlah penduduk.
Data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil mencatat jumlah penduduk di Sumsel 2015 mencapai 8.049.797 orang.
Sementara pelanggan ponsel dari salah satu operator seluler terkemuka di Indonesia saat ini, pada tahun 2016 ini saja sudah mencapai 52 juta pelanggan. Provider ini kini sudah memiliki 2.650 tower BTS.
Belum termasuk operator lainnya, diasumsikan satu orang bisa menggunakan lebih dari satu Ponsel dari beragam operator.
Sementara itu, berdasarkan survei dari Nielsen Media Research yang di dukung hasil riset yang dilakukan oleh SurveyOne dari 10 kota di 10 kota, termasuk Palembang, menunjukkan peningkatan pesat atas jumlah nomor telepon seluler dalam 5 tahun terakhir.
Menggeliatnya pertumbuhan seluler dan akses data internet, menjadi lahan bisnis baru bagi pihak ketiga.
Disisi lain, bagi penyedia jasa/operator, mereka memiliki hitungan tersendiri, jika harus investasi membangun tower yang
tidak murah.
Untuk itu, jasa operator ini pun menumpang di jasa layanan tower bersama.
Melihat peluang bisnis itu, provider tower bersama mulai mencari lahan/tanah kosong untuk disewa agar bisa dibangun tower ketinggian 35 meter hingga 70 meter. Dengan jangka waktu sewa 5- 10 tahun.
Persoalan yang mencuat saat ini, pemilik tanah menaikan tarif sewa tanah jika sebelumnya Rp 12,5 juta/tahun menjadi Rp 25 juta hingga 30 juta/tahun untuk tower 5 meter, sedangkan bagi tower 70 meter, dari Rp 200 juta/lima tahun menjadi Rp 400 juta/lima tahun.
Negoisasi pun alot, karena pihak provider harus menghitung ulang, termasuk faktor inflasi.
"Jika tidak ada kesepakatan, silakan operator bongkar towernya," ungkap Rahman, warga di kawasan Musi II Palembang.
Sripo juga sudah mencari tahu mengenai adanya gugatan perusahaan tower bersama ke warga melalui jalur arbitrase.
Hal itu dibenarkan salah seorang Arbiter Ir H Ahmad Rizal MH, FCBarb dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Menurutnya, saat ini sudah ada lima operator tower bersama yang mengajukan gugatan ke BANI dengan lawannya pemilik tanah.
Sayangnya, Arbiter Ahmad Rizal menolak menyebutkan nama perusahaan tersebut karena penyelesaian sengketa di Arbiter berlangsung tertutup dan tidak diekspose.
Namun menurut Rizal, 60 persen lebih tower BTS yang menjamur di Palembang dan kota lain di Sumsel memang dikelola pihak ketiga.
"Jika tidak ada kecocokan antara keduanya, bisa saja tower BTS dimatikan," katanya.
Namun diyakinkan Ahmad Rizal, BANI akan memutuskan secara adil.
"Jika memang provider harus bayar, ya bayar, Keputusan Arbitrase final dan mengikat. Artinya, tidak ada banding," kata
Ahmad Rizal, yang juga mantan Ketua Kadin Sumsel ini.
Sesuai Harga Tanah
Pemilik tanah lainnya, yakni Yanto. Ia mengatakan, sudah ada kontrak 10 tahun dengan penyedia tower yang menyewa tanahnya di Alang-alang Lebar Palembang.
Kontrak tersebut berbiaya Rp 50 juta per tahun dan sampai sekarang belum ada kenaikan harga.
Namun, kalau nanti kontrak sudah usai, Yanto memastikan harga sewa akan naik.
Hal ini berdasarkan pada harga tanah yang memang tidak pernah mengalami penurunan seiring bertambahnya tahun.
"Perusahaan tower pasti mendapat laba setiap tahun. Saya rasa, tidak akan ada masalah kalau biaya sewa selalu naik karena keuntungan pasti akan selalu bertambah," kata Yanto.
Sedangkan diungkapkan oleh seorang pegawai yang bekerja di perusaaan penyedian tower seluler. Atas permintaan yang bersangkutan, identitasnya tidak bisa disebutkan.
Dikatakan pegawai ini, biaya sewa tanah selalu naik setiap kali kontrak lama usai.
Hal ini memaksa pihak perusahaan selalu menambah anggaran khusus untuk menyewa tanah.
"Tower seluler kan untuk kepentingan orang banyak. Kami berharapnya masyarakat pemilik tanah jangan memanfaatkan
kebutuhan kami akan lokasi sebagai bahan untuk mencari uang," kata pegawai tersebut.
Dibeberkan pegawai berusia hampir paruh baya ini, setiap kali habis kontrak sewa, pasti akan selalu ada negoisasi alot dengan pemilik tanah.
Ada kalanya, negoisasi menemui jalan buntu yang membuat pihak penyedia tower mencari lokasi yang baru.
Namun, langkah tersebut ada kalanya tidak diambil dikarenakan lokasi yang diinginkan sudah benar-benar strategis.
Akhirnya, lanjut si pegawai ini, mau tak mau pihak penyedia tower menuruti keinginan si pemilik tanah.
Selagi biaya sewa tidak berubah selama kontrak masih berlaku, penyedia tower biasanya akan berusaha menyanggupi permintaan si pemilik tanah, meski tentu akan membuat anggaran membengkak.
"Untuk kontrak, bisa bermacam-macam. Ada satu tahun, lima tahun, hingga 10 tahun," katanya.
Di lain pihak, seorang pegawai seluler bernama Hendri, provider tidak berurusan langsung dengan sewa tanah untuk penempatan tower.
Meski demikian, dirinya sudah beberapa kali mendengarkan konflik perihal sewa tanah yang membuat penyedia tower cukup keberatan untuk menerimanya.
Sejauh ini, konflik tersebut bisa selesai dimana kedua belah pihak akan setuju.
"Kita mempercayakan tower selular kepada perusahaan penyedia tower. Jadi, urusan di lapangan, mereka yang menanganinya," kata Hendri.
Sayangnya, salah satu perusahaan penyedia tower seluler di Palembang bernama Tower Bersama Grup (TBG) enggan berbicara banyak perihal problem ini.
Ketika Sripo datang ke kantornya yang berlokasi di Jl Angkatan 45 Palembang, Sripo disambut oleh seorang frontline kantor.
Dari dirinya didapat segelintir informasi bahwasanya TBG memang selalu menerima kenaikan harga setiap kali kontrak sewa tanah usai.
"Kita tidak bisa mengatakan lebih spesifik karena sudah menjadi rahasia perusahaan. Mungkin bisa langsung ditanyakan ke perusahaan yang melayangkan gugatan ataupun langsung datang ke lokasi tower yang ada konflik dengan warga," katanya. (***)