Lahirnya Kesultanan Palembang dan Gelar Raja

T.W. Arnold menyebutkan bahwa Islam masuk ke Palembang kira-kira tahun 1440 dan pembawanya adalah Raden Rahmat.

Penulis: Aminudin | Editor: Tarso
SRIPOKU.COM/WELLY HADINATA
Masjid Agung Palembang, salah satu bukti Kesultanan Palembang 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- T.W. Arnold menyebutkan bahwa Islam masuk ke Palembang kira-kira tahun 1440 dan pembawanya adalah Raden Rahmat.

Menurut Hamka, Raden Rahmat dikirim oleh neneknya (Raja Campa) ke Jawa dan singgah selama dua bulan di Palembang. Beliau berhasil mengajak Ario Damar, seorang Adipati Majapahit di Palembang memeluk Islam secara sembunyi-sembunyi. Selanjutnya Raden Rahmat meneruskan perjalanan ke Jawa.

Belakangan Raden Rahmat dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Lebih lanjut Hamka menerangkan, pada waktu-waktu tertentu Ario Damar datang ke Majapahit untuk menghadap raja. Dalam kesempatan itu ia selalu singgah di Ampel untuk menambah ilmu pengetahuannya tentang Islam dari gurunya, Sunan Ampel.

Sesampainya di Palembang, ia selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang berdagang di daerah ini.

Winstedt menyatakan, pada pertengahan abad ke-16, Palembang telah mengirimkan juru dakwah ke Kalimantan dan meng-Islamkan orang-orang Sukadana dan Madan. Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa Islam telah masuk ke Palembang pada abad ke-15, sebab pada tahun 1596 terjadi perang antara Palembang dan Banten. Perang terhadap orang-orang yang belum memeluk agama Islam.

Setelah runtuhnya Majapahit, Palembang tidak otomatis menjadi sebuah kerajaan merdeka. Sebaliknya Palembang menjadi daerah perlindungan kerajaan Demak. Dengan demikian secara tidak langsung Pa lembang merupakan bagian dari sebuah kerajaan Islam.

Corak Islam seperti ini yang menjadi alasan bagi Winstedt untuk menyatakan Islam masuk ke Palembang pada abad ke -15. Pernyatan ini diperkuat oleh sumber tutur Jawa yang bersifat sejarah, bahwa pada abad ke-15 kerajaan Palembang sudah bercorak Islam.

Munculnya pemerintahan Islam di Palembang, berawal dari kericuhan kerajaan Islam di pantai Jawa Te ngah, Demak. Stabilitas negeri ni terganggu karena adanya perebutan suksesi pada tahun 1549, di mana dua tokoh pewaris muncul dalam pertarungan, masing-masing adalah Arya Panangsang dari Jipang, dan Pangeran Adiwijaya dari Pajang.

Dalam perebutan kekuasaan ini Arya Panangsang tewas. Kejadian tersebut menyebabkan pengikutnya melarikan diri ke Demak. Berbeda halnya dengan salah seorang Suro atau perwira raja yang dikenal de ngan sebutan Ki Gede Ing Suro. Ia melarikan diri bersama pengikutnya ke Palembang, dan dianggap sebagai cikal bakal sultan-sultan Palemban kelak.

Peristiwa tersebut dikemukakan dalam kitab silsilah raja-raja Palembang sebagai berikut:

“Telah diriwayatkan adalah berpindah beberapa anak raja-raja dari tanah Jawa ke negeri Palembang dengan sebab hura-hura Sultan Pajang menyerang Demak dan adalah yang bermula menjadi raja di Palembang daripada mereka itu Kyai Gedeng Suro Tuo anak Kyai Gedeh Siding Lautan dan manakala wafat Kyai Gedeng Suro Mudo anak Kyai Gedeng Ilir dan adalah pada ketika itu semuanya anak raja-raja yang berpindah dari tanah Jawa di negeri Palembang yaitu empat likur bilangan orang adanya.” (RHM Akib, 1323).

Setelah Pangeran Sido Ing Lautan wafat, berganti-ganti menjadi penguasa di Palembang ialah:

- Kyai gede Ing Suro Tuo (958-981 H/1552-1573)

- Adipati Ing Suro (Kyai Gede Ing Suro Mudo) (981-998 H/1573-1590).

- Kyai Gede Ing Ilir (998/1590) 11 bulan.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved