Inilah Dasar Awal Mula Azan Panggilan Salat

Dia pun berkata: “Maukah engkau kuberitahu (panggilan) yang lebih baik dari (bunyi lonceng) itu?” Maka, aku pun berkata: “Tentu saja mau.”

Penulis: Aminudin | Editor: Tarso
zoom-inlihat foto Inilah Dasar Awal Mula Azan Panggilan Salat
Ist
Ilustrasi orang mengumandangkan azan atau Panggilan Salat.

SRIPOKU.COM --- Secara bahasa, azan berarti pemberitahuan (1’lam). Dalam Alquranulkarim, kata azan digunakan dalam beberapa hal, di antaranya sebagaimana terdapat dalam surat At-Taubah ayat 3

“Dan (inilah) suatu permakluman (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Sedangkan dari segi istilah dan syar’I, azan adalah panggilan atau pemberitahuan kepada umat Islam untuk melaksanakan salat karena waktu salat telah tiba.

Azan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Ketika itu, Rasulullah SAW mengumpulkan sahabatnya untuk bermusyawarah tentang cara memberitahu umat Islam akan tibanya waktu salat. Sehingga mereka bersegera ke masjid untuk menunaikan salat secara berjamaah.

Beberapa sahabat menyampaikan beberapa usulan. Di antaranya, ada yang mengusulkan dengan menggunakan bendera sebagai tanda waktu salat telah tiba.

Apabila bendera dikibarkan, itu pertanda waktu salat telah datang. Bagi yang melihatnya, dianjurkan untuk memberitahukan kepada yang lain bahwa waktu salat telah tiba.

Ada pula yang mengusulkan agar menggunakan lonceng, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Nasrani atau terompet sebagaimana dilakukan orang Yahudi.

Yang lain mengusulkan, dengan menyalakan api di bukit. Bila api menyala, hal itu menunjukkan pertanda waktu salat telah datang. Dan, bagi mereka yang melihat api, hendaknya memberitahu yang lain agar segera menghadiri salat berjamaah di masjid.

Namun, semua usulan itu ditolak oleh Nabi SAW, dengn alasan bahwa sejumlah tand-tanda itu kurang banyak manfaatnya dan hal itu hanya diketahui oleh orang per orang saja. Rasul pun mengganti usulan itu dengan seruan Ash-Shalatu Jaami’ah (mari salat berjamaah).

Namun, dalam suatu kesempatan, akhirnya kalimat Ash-Shalatu Jaami’ah itu diganti dengan kalimat tauhid seperti sekarang ini.

Abdullah bin Zaid berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW menyuruh memukul lonceng agar orang-orang berkumpul untuk salat. Ketika tertidur, aku bermimpi seorang laki-laki datang membawa lonceng dengan tangannya. Dan mengelilingiku. Aku pun berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng itu?”

Dia berkata: “Apa yang akan engkau lakukan dengannya (lonceng tersebut)?” Maka kujawab: “Kami akan gunakan (lonceng itu) sebagai panggilan salat.”

Dia pun berkata: “Maukah engkau kuberitahu (panggilan) yang lebih baik dari (bunyi lonceng) itu?” Maka, aku pun berkata: “Tentu saja mau.” Dia berkata, “Kau ucapkan:

· Allahu Akbar, Allahu Akbar

· Asyhadu alla ilaha Illallah (dua kali)

· Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (dua kali)

· Hayya ‘alash Shalah (duan kali)

· Hayya ‘alal Falah (dua kali)

· Allahu akbar Allahu akbar

· La ilaha illallah.

Setelah melafalkan kalimat itu, laki-laki yang membawa lonceng itu terdiam sejenak. Lalu, ia berkata: “Katakanlah jika salat akan didirikan:

· Allahu Akbar, Allahu Akbar

· Asyhadu alla ilaha Illallah

· Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah

· Hanyya ‘alas Shalah

· Hayya ‘alal Falah

· Qad qamatish Shalah (dua kali)

· Allahu Akbar, Allahu Akbar

· La ilaha illalllah”

Begitu Subuh, aku mendatangi Rasulullah SAW, kemudian kusampaikan kepada beliau perihal yang kumimpikan. Beliau pun bersabda: “Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah bersama Bilal (bin Rabbah) dan ajarkanah kepadanya apa yang kau mimpikan agar diazankan (diserukan) olehnya (Bilal), karena sesungguhnya suaranya lebih lantang darimu.”

Maka, aku bangkit bersama Bilal, lalu aku ajarkan kepadanya dan dia yang berazan. Ternyata hal itu terdengar oleh Umar bin Khattab ketika dia berada di rumahnya. Kemudian, dia keluar dengan selendangnya yang menjuntai.

Dia berkata: “Demi Zat yang telah mengutusmu (Muhammad) dengan benar, sungguh aku telah memimpikan apa yang dimimpikannya.”

Kemudian, Rasulullah SAW bersabda: “Maka, bagi Allah-lah segala puji.” (HR Abu Daud, 499), at-Tir midzi (189) secara ringkas tanpa cerita cerita Abdullah bin Zaid tentang mimpinya, Al-Bukhari dalam Khalq Af’al al-Ibad, ad-Darimi (1187), Ibnu Majah (706), Ibu Jarud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan Ahmad (16043-redaksi di atas).

At-Tirmidzi berkata: “Ini hadist hasan sahih.” Juga disahihkan oleh jamaah imam ahlim hadis, seperti Al-Bukhari, Adz-Dzahabu, An-Nawawi dan lainnya, kata Al-Albani dalam Al-Irwa (246), Shahih Abu Dawud (512) dan Takhrij al-Misykah (I:650). (Aminudin/Islam Digest, Ahad, 12 Juli 2009).

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved