Ramadan 2018
1 Ramadhan 2018, Muhammadiyah Sepakat Tanggal 17 Mei Hari Pertama Puasa
Bulan yang seharusnya dijadikan sebagai momen peningkatan ibadah dan amal saleh justu dinodai oleh saling cemooh antarkelompok masyarakat.
Penulis: Candra Okta Della | Editor: Candra Okta Della
SRIPOKU.COM - Penetapan 1 Ramadhan seringkali berbeda diantara pemerintah Muhammadiyah dan beberapa ormas Islam di tanah air.
Ironisnya, perbedaan ini tidak jarang menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat berupa saling ejek dan saling klaim bahwa kelompoknya benar, sedangkan kelompok lain salah.
Bulan yang seharusnya dijadikan sebagai momen peningkatan ibadah dan amal saleh justu dinodai oleh saling cemooh antarkelompok masyarakat.
Kementerian Agama sebagai lembaga yang punya otoritas dalam penetapan awal puasa, telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut dengan menggelar sidang itsbat yang dihadiri oleh para ulama, ilmuwan, pakar hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia.
Dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, ulama berbeda pendapat.
Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Mereka berpegangan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776).
Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal.
Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Lihat: Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210).
Kedua, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal).